Apakah Panitia Qurban Boleh Menerima Daging Qurban?

Apakah Panitia Qurban Boleh Menerima Daging Qurban?



Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.

SEBUAH KASUS

Dalam tradisi masyarakat Indonesia setiap merayakan Idul Adha, biasa memberikan daging qurban kepada panitia pengurus hewan qurban, sehingga mereka mendapatkan bagian daging, boleh mengonsumsi, dan memanfaatkannya. Namun ada studi fiqih di suatu majalah Islam yang berpendapat berbeda. Dalam studi itu dikatakan, panitia qurban tidak berhak mendapatkan daging qurban. Pertimbangannya, daging qurban tidak boleh diberikan kepada panitia sebagai upah atas jerih-payahnya mengelola hewan qurban. Daging qurban harus didistribusikan secara sempurna, tanpa ada yang dijual, tanpa ada yang diberikan sebagai upah. Dalam pandangan ini, kalau panitia bekerja mengelola qurban, cukup bekerja saja; tidak perlu berharap akan mendapat bagian daging. Andaikan panitia harus menerima daging, ia diberikan kepada isterinya, bukan ke tangan panitia itu sendiri.

Saat saya berbicara dengan seorang Ketua DKM, di masjid dekat rumah, sikapnya lebih ketat lagi. Bapak itu selama ini mengelola hewan qurban dengan mengeluarkan biaya-biaya operasional. Sementara dia sendiri tidak mengonsumsi sedikit pun daging qurban. Alasannya, dia hanya menerima amanat untuk menyembelih dan membagikan, bukan untuk mengonsumsi.


Berkah dari Langit untuk Ummat Ini.

IMPLIKASI SOSIAL

Pandangan dalam studi fiqih di atas bila menyebar luas di tengah masyarakat, tentu akan memiliki implikasi besar. Ia bisa menmbulkan keresahan tersendiri. Bila pandangan itu diamalkan, maka para panitia qurban dilarang menerima daging atau pembagian manfaat apapun dari hewan qurban. Bisa jadi mereka akan memilih menjadi masyarakat biasa yang tidak terlibat kepanitiaan, agar tetap bisa mendapatkan daging. Di sisi lain, pengadaan, penyembelihan, dan pembagian daging qurban akan berkembang secara KOMERSIAL. Maksudnya, setiap yang bekerja dengan hewan qurban menuntut upah secara profesional (komersial), dengan pertimbangan mereka tidak berhak mendapatkan jatah daging sedikit pun.

Tentu saja, bukan seperti itu yang diharapkan dari syiar Idul Adha. Idul Adha adalah hari raya kaum Muslimin, hari kebanggaan, hari wibawa, hari kebahagiaan Ummat. Tidak semestinya momen ‘Idul Adh-ha dikembangkan dengan semangat komersialitas. Ia tetap harus dikembangkan dalam rangka syiar Islam, ketakwaan, keikhlasan, dan mencari berkah dari sisi Allah Ta’ala. Kalau iklim komersial yang berkembang, lambat-laun syiar udh-hiyah itu akan lenyap. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

INTI MASALAH

Di hadapan kita ada beberapa pertanyaan mendasar yang wajib dicarikan jawabannya menurut arahan Syariat Islam, yaitu: “Bagaimana hukum panitia qurban yang menerima jatah pembagian daging qurban? Bolehkah atau dilarangkah? Bagaimana hukumnya panitia qurban dan keluarganya mengonsumsi daging hewan qurban, atau memanfaatkan apa yang diperoleh untuk keperluan hidup mereka?”

RUJUKAN

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya coba buka-buka beberapa referensi kitab fiqih yang ada di kami. Misalnya, “Ringkasan Shahih Muslim” karya Imam Al Mundziri; “Bulughul Maram” karya Ibnu Hajar Al Asqalani; “Mulakhas Fiqhiy” karya Syaikh Shalih Al Fauzan; Tafsir Ibnu Katsir, khususnya saat membahas Surat Al Hajj ayat 28 dan 36; “Fiqh Islam” karya H. Sulaiman Rasyid; dan buku “Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama Jilid 1-3” karya Al Ustadz A. Hassan. Hanya saja, dalam buku terakhir tidak saya jumpai pembahasan tentang kasus di atas.

PEMBAHASAN

Untuk menemukan jawaban yang memuaskan dari kasus yang disebutkan di awal tulisan ini, ada beberapa poin pembahasan yang perlu disampaikan. Secara berurutan disebutkan sebagai berikut:

[1] Pada dasarnya, panitia qurban BERHAK mendapatkan jatah daging qurban, berhak mengonsumsi, atau mengambil manfaat dari hewan qurban yang dibagikan. Dalilnya sederhana, bahwa tidak ada larangan dalam Al Qur’an atau As Sunnah yang mengharamkan panitia mendapat jatah daging qurban. Kita tidak pernah mendapati ayat Al Qur’an atau hadits Nabi Saw yang mengatakan, misalnya, “Barangsiapa bekerja mengatur urusan daging hewan qurban, dilarang memakan dagingnya, atau mengambil manfaat apapun darinya.” Tidak ada indikasi ke arah itu. Kaidah ushul yang berlaku disini, “Al ‘ashlu fil asy-yai al ibadah” (asal dari setiap sesuatu, selama tidak ada yang larangan, ialah mubah atau boleh). Namun hukum ini belum memadai, sehingga perlu diberi penjelasan-penjelasan lain.

[2] Dalam Surat Al Hajj ayat 28 disebutkan, “Fa kuluu mina wa ath-imul ba’itsil faqiir” (maka makanlah hewan qurban itu dan berikanlah makan kepada orang-orang yang tertimpa kefakiran).

Terhadap ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah berkomentar, “Sebagian orang berdalil dengan ayat ini atas wajibnya memakan daging qurban. Ini adalah pendapat yang asing. Akan tetapi pendapat yang paling banyak, bahwa makan daging qurban termasuk bab rukhsah (keringanan), atau mustahab (lebih disukai).”

Imam Malik rahimahullah berkata, “Aku lebih suka makan hewan qurban, karena Allah Ta’ala berfirman, ‘Makanlah darinya!’” Ibnu Wahab berkata, “Aku bertanya ke Laits, dia berkata seperti itu juga (sependapat dengan Imam Malik).” Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata, “Dulu kaum musyrikin tidak memakan daging sembelihan untuk qurban. Maka diberi keringanan kepada kaum Muslimin. Siapa yang mau, silakan makan; siapa yang tidak mau, tidak usah makan.” Ibnu Jarir At Thabari rahimahullah juga menetapkan bolehnya memakan daging sembelihan qurban tersebut. Beliau meyitir ayat-ayat lain sebagai qiyas.

Singkat kata, lebih disukai jika kaum Muslimin mengonsumsi daging hewan qurban. Malah ada yang berpendapat, wajib mengonsumsi. Dengan demikian, jika para panitia hewan qurban itu Muslim, mereka lebih disukai mengonsumsi daging qurban.

[3] Surat Al Hajj ayat 28 diperkuat oleh ayat selanjutnya, Surat Al Hajj ayat 36. Disana dikatakan, “Fa kuluu minha wa ath-imul qaa-ni’ wal mu’tar” (maka makanlah dari daging qurban itu dan berikan makan kepada orang yang qana’ah (merasa cukup dengan apa yang ada pada diri mereka) dan orang yang meminta (diberi daging hewan qurban).”

Atas ayat di atas, Ibnu Katsir mengatakan, “Berkata sebagian Salaf, ‘Makanlah darinya!’ Ini perkara mubah. Imam Malik berpendapat, ia lebih disukai. Sebagian ulama Syafi’i menghukuminya wajib.” (Perlu diingat, Imam Ibnu Katsir rahimahullah termasuk bermadzhab fiqih Syafi’iyyah).

Ketika menjelaskan makna, memberi makan kepada al qana’ dan al mu’tar, Ibnu Abbas Ra menjelaskan, “Al qana’ ialah orang yang merasa cukup atas apa yang engkau berikan kepadanya, sedangkan dia ada di rumahnya (maksudnya, tidak keluar rumah untuk meminta-minta daging qurban). Al mu’tar ialah orang yang memohon kepadamu, mencelamu atas daging yang engkau berikan, dan tidak meminta.” Terjemah Depag. RI menyebut al qana’ sebagai yang rela dengan keadaan dirinya, sehingga tidak perlu meminta-minta. Sedangkan al mu’tar, orang yang meminta diberi daging.

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Telah berhujjah dengan ayat ini sebagian ulama, bahwa hasil sembelihan qurban dibagi 3 bagian: 1/3 untuk yang berqurban, 1/3 untuk dihadiahkan kepada teman-temannya, dan 1/3 lagi disedekahkan untuk fakir-miskin.”

Syaikh Shalih Al Fauzan berpendapat, “Lebih disukai makan hewan dari hadyu, jika hadyu untuk Haji Tamattu’ dan Qiran. Dan disukai makan dari hewan qurban, diberikan sebagai hadiah, dan disedekahkan, sepertiga-sepertiga. Seperti firman Allah, ‘Maka makanlah darinya dan berikan makan.’” (Mulakhas Fiqhiy. Juz I, hal 317).

Dengan penjelasan Surat Al Hajj ayat 38 ini, maka hukum memakan daging qurban bagi kaum Muslimin, bersifat lapang. Ia boleh diberikan kepada manusia yang meminta dan yang tidak meminta. Boleh diberikan kepada kaum fakir-miskin, maupun orang kaya yang sehari-hari makan daging. Andaikan bukan karena rasa lezat dan kandungan gizi dari daging qurban, setidaknya bisa diambil berkahnya.

[4] Sebuah hadits dalam riwayat Imam Bukhari-Muslim. Anas Ra. berkata, “Rasulullah Saw pernah berqurban dengan dua ekor kambing kibasy putih, yang telah tumbuh tanduknya. Aku pernah melihat beliau menyembelih kedua kambing itu dengan tangannya, aku melihat beliau meletakkan kakinya di pangkal leher kedua domba itu, lalu membaca bismillah dan bertakbir.” Dalam riwayat lain, Rasulullah meminta Aisyah Ra. memberikan beliau pisau tajam untuk menyembelih hewan udh-hiyyah (qurban).

Disini didapat dalil, bahwa seseorang boleh menyembelih hewan qurban miliknya dengan tangannya sendiri. Malah cara seperti itu lebih baik, sesuai Sunnah Nabi Saw. Dan orang yang menyembelih ini tidak diharamkan makan hasil sembelihan daging qurban-nya. Rasulullah Saw sendiri menyembelih, keluarganya lalu memasak dagingnya, dan beliau memakan hasil masakan itu. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz VI, hal. 307). Jadi, anggapan bahwa pihak yang menyembelih hewan qurban tidak berhak makan daging qurban dimentahkan oleh riwayat-riwayat itu.

[5] Dalam hadits lain, masih riwayat Bukhari Muslim, disebutkan dalam Bulughul Maram, hadits no. 1166, tentang Kitab Adha-hiy. Dari Ali bin Abi Thalib Ra., dia berkata, “Rasulullah Saw menyuruhku mengurus hewan sembelihannya (qurban). Beliau perintahkan aku membagikan dagingnya, kulitnya, bulunya, untuk kaum fakir-miskin. Dan tidak memberikan sedikit pun kepada tukang jagalnya.”

Hadits ini sangat menarik, sebab dari riwayat ini kita bisa mengambil hikmah, bahwa kepanitiaan hewan qurban itu sudah ada sejak jaman Nabi Saw. Meskipun pada awalnya bersifat sederhana, dengan melibatkan Ali Ra sebagai pengelola dan pendistribusi hewan qurban tersebut.

Atas riwayat di atas As Shan’ani, penulis kitab Subulus Salam, memberikan penjelasan sebagai berikut, “Kulit, bulu, daging hewan qurban harus dibagikan seluruhnya sebagai sedekah. Seseorang yang berqurban boleh memakan sebagian dagingnya, boleh mengambil kulitnya untuk keperluan pribadi, dan tidak untuk dijual. Memberikan daging qurban kepada penjagal sebagai imbalan atas kerjanya, dilarang. Sebagian orang tidak memberi upah sama sekali kepada tukang jagal, ini tidak boleh. Kalau kemudian tukang jagal itu menerima upah tidak seperti yang dia harapkan, itu diperbolehkan.”

Disini didapat penjelasan, bahwa perintah tidak memberikan daging kepada tukang jagal (al jizarah), ialah jika daging itu diberikan sebagai upah atas kerja tukang jagal tersebut. Padahal ketentuannya, semua bagian hewan qurban yang bisa dimanfaatkan dibagikan, bukan dijual, atau dikonversikan menjadi upah kerja.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah Saw bersabda, “Jangan dijual daging hadyu dan daging qurban. Makanlah dagingnya, bersedekahlah dengannya, ambil manfaat dari kulitnya, jangan dijual kulit itu.” (HR. Ahmad).

KESIMPULAN PENTING

Ada beberapa kesimpulan penting yang bisa ditarik disini, yaitu:

[a] Lebih utama bagi kaum Muslimin untuk mengonsumsi daging hewan qurban.

[b] Daging hewan qurban diberikan kepada kaum Muslimin yang meminta (al mu’tar) dan yang tidak meminta (al qana’). Keduanya berhak mendapatkan.

[c] Daging hewan qurban secara umum dibagi 3 bagian: 1/3 untuk pihak yang berqurban; 1/3 untuk kawan-kawan pihak yang berqurban, dan 1/3 lagi disedekahkan untuk fakir-miskin.

[d] Hasil hewan qurban dibagikan seluruhnya, tidak ada yang dijual dan tidak ada yang diberikan sebagai upah dalam bentuk daging, kulit, atau bulu.

[e] Tukang jagal yang bekerja menyembelih hewan qurban tidak boleh diupah dengan daging qurban, kulit, atau bulunya. Dia boleh diupah dengan harta yang lain. Apabila tidak memberikan upah sama sekali, menurut As Shan’ani hal itu tidak boleh.

[f] Tradisi mengurus hewan qurban, lalu membagikan ke masyarakat, sudah ada sejak jaman Rasulullah Saw. Dicontohkan dengan perbuatan Ali bin Abi Thalib Ra.

BAGAIMANA POSISI PANITIA QURBAN?

Sebagai kaum Muslimin, panitia qurban jelas berhak mendapatkan daging qurban, berhak menikmati, dan memanfaatkan hasil sembelihan qurban. Mereka adalah bagian dari kaum Muslimin yang berhak mendapat keberkahan Yaumun Nahr (hari raya Idul Adha).

Lebih kuat lagi, apabila mereka membutuhkan daging tersebut untuk keperluan diri dan keluarganya. Hal ini benar-benar diperbolehkan (Surat Al Hajj ayat 36). Bahkan bila panitia itu tergolong fakir-miskin, mereka lebih berhak.

Adapun panitia yang ikut terlibat dalam mengurus hewan qurban, dalam rangka ingin mendapatkan bagian daging qurban, hal itu diperbolehkan. Bahkan, andaikan mereka duduk di rumah saja, mereka berhak diberi. Andaikan mereka meminta jatah daging, tanpa harus bekerja, itu juga diperbolehkan. Apalagi kalau sampai mereka ikut terlibat mensukseskan pengelolaan hewan qurban, mereka lebih diutamakan dari orang-orang yang hanya menunggu diberi daging.

Hanya saja, urusannya menjadi lain, kalau niat panitia bersifat komersial. Misalnya, dia terlibat mengurus hewan qurban semata-mata karena ingin MENDAPAT UPAH. Tentunya, upah itu dalam bentuk uang. Jika tidak ada uang, dia menuntut supaya upah dikonversi dalam bentuk daging. Nah, perbuatan seperti ini yang tidak diperbolehkan. Hasil daging qurban bukan untuk upah.

Tetapi BEKERJA mencari upah sendiri bukan aib. Setiap Muslim boleh bekerja mencari upah demi kebaikan diri dan keluarganya. Hanya saja, kalau mencari upah saat mengelola hewan qurban, tidak boleh meminta upah dengan cara dibayar daging, kulit, atau bulu hewan qurban. Upah itu bisa berupa uang, atau barang-barang lain yang disepakati, selain bagian hewan qurban. (Misalnya, upah diminta dalam bentuk korma, tepung roti, ikan, minyak, atau apa saja di luar bagian hewan qurban).

Kalau ada panitia yang terlibat dengan niat mencari upah, harus diberikan upahnya. Dan hal itu harus dilakukan kesepakatan sebelum urusan pengelolaan hewan qurban dimulai. Adapun bagi yang mencari berkah dari rizki Allah berupa hewan qurban, harus diberikan bagiannya. Bahkan siapa yang tidak mencari pun, asalkan Muslim dan jatah dagingnya mencukupi, berhak diberi pula.

Dan sebaik-baik niat terlibat dalam kepanitian qurban ialah dalam rangka mensukseskan syiar agama Allah di muka bumi. Niat demikian, selain mendapat pahala takwa, juga berhak mendapat berkah daging hewan qurban. Dalam Al Qur’an disebutkan, “Dan siapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati.” (Surat Al Hajj: 32).

Semoga kajian sederhana ini bermanfaat bagi Ummat; menghilangkan keragu-raguan di hati –atas ijin Allah-; bisa membantu meninggikan syiar agama Allah, dan ikut menanam saham bagi kekalkan barakah Idul Adha bagi kaum Muslimin. Semoga Allah Al Karim memuliakan kita semua. Amin Allahumma amin.

Wallahu A’lam bisshawaab.

Bandung, 13 November 2010.

AM. Waskito.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Prev Next home