Peluklah Aku, Bunda...

Peluklah Aku, Bunda...

 
Bunda...
Sebuah nama indah yang dikagumi berjuta jiwa
Lewat pelukannya, cinta itu mengalir tiada jeda
Dengan samudera kasihnya, biduk kecil itu berlayar walau tiada nakhoda
Kelak, lelah bunda pun akan menuai berjuta pahala
Duhai…
Tidakkah engkau ingin menjadi bunda?

Seberkas cahaya terang menyilaukan matanya yang belum bisa melihat dengan sempurna. Seketika itu juga melengking tangisan dari bibir mungilnya. Suasana asing dengan suara-suara aneh membuatnya takut dan merasa tak nyaman. Sepasang tangan yang memegangnya inipun seakan enggan merengkuh tubuh mungilnya ke dalam dekapan. Tak ada pelukan kasih sayang, senyum keikhlasan, apalagi belaian kehangatan.

Wajah mungil yang baru saja menyapa dunia itu terlihat cantik mempesona. Bibir yang bagaikan delima merekah, alis mata laksana rombongan semut hitam yang berjalan beriringan, hidung pun tampak mancung menawan. Duhai, begitu sempurna ciptaanNya. Tertegun sejenak sepasang mata yang memandang. Namun mata hati telah terselaput noda, hingga meranggas fitrahnya sebagai seorang ibunda.

Dengan kasar kedua belah tangan itu memasukkan tubuh yang masih basah karena air ketuban dan percikan darah ke dalam sebuah bungkusan. Hanya jerit tangis yang semakin melengking terdengar. Tak ada bujuk rayu penuh kemesraan agar ia menghentikan tangisan, bahkan kemudian hanya sumpah serapah yang terlontar. Sosok mungil itu lalu pasrah dengan ketidakberdayaan dirinya

Tak lama, deru mobil membawa mereka ke sebuah pinggiran kota. Lalu di kegelapan malam wanita itu berjalan dengan gontai menyusuri jalan setapak. Langkahnya tersuruk-suruk goyah membawa tubuh yang masih payah. Sosok kecil dalam bungkusan pun hanya bisa mengeluarkan isak tertahan, karena sehelai kain batik membekap mulutnya. Ia haus dan pasti kedinginan. Air susu yang sangat diharapkan tak jua diberikan. Pelukan kehangatan hanyalah sebatas impian.

Tergesa-gesa diletakkan begitu saja darah dagingnya di dekat tumpukan sampah. Entah nanti akan bertahan hidup atau tidak, sama sekali tak terlintas dalam pikirannya. Buah hati yang mestinya dilimpahi rasa cinta itu pun telah lelah, hingga terbuai dalam mimpinya. Tak ada lambaian perpisahan, yang ada hanyalah suara tapak-tapak kaki yang mencoba berlari kencang dengan wajah pias ketakutan.

Di pekatnya malam, rembulan tampak bermuram durja. Burung malam pun seperti enggan riang berdendang. Alam seakan bersedih karena sebuah perbuatan biadab serta nista telah kembali dilakukan. Hanya iblis dan setan yang jelas terbahak-bahak senang. Rasa kemanusiaan nyata telah hilang, mengalahkan naluri hewan yang bahkan tahu cara menyayangi anak-anaknya.

Kabut malam berganti embun pagi, menandakan bergantinya hari. Dalam selubung dingin, semilir hembusan angin menebarkan bau anyir. Ada tangan mungil menyembul keluar dari sebuah plastik hitam, menggapai-gapai bagaikan memohon bantuan. Bibir yang telah berwarna pucat itu seperti ingin berteriak agar bunda segera memeluknya, namun hanya jerit tangis yang terdengar.

Sayup-sayup, terdengar gemerisik dari semak belukar, diikuti langkah-langkah perlahan bercampur dengus menggeram. Bayi yang tak berdosa itu sontak terdiam, lantas wajahnya terukir seulas senyuman. Mungkin bunda telah datang menjemput, ia berpikir dengan polosnya. Namun, bukan wajah teduh dan bersinar kasih sayang yang menghampirinya, melainkan tatapan lapar serta lelehan liur yang menetes dari sela-sela taring seekor anjing liar.

Bunda...
Tidakkah sebuah panggilan yang sungguh sangat indah? Karenanya, berjuta wanita begitu merindukan dirinya dipanggil sebagai ibunda. Bunda bukan sekedar sepatah kata, namun dibaliknya terkandung makna samudera kasih sayang dan luahan rasa cinta yang begitu dalam.

Karena sifat rahman dan rahim-Nya, hanya para bundalah yang dititipkan sebuah rahim untuk mengandung benih buah hati tercinta. Dilimpahkan pula baginya pahala yang berlipat ganda karena keikhlasan untuk membawa tambahan beban selama sembilan bulan. Bahkan ganjaran berupa pahala jihad juga dijanjikan saat akan melahirkan.

Namun...
Mengapa pula ada bunda yang tega kepada darah dagingnya? Lantas, haruskah sebuah perbuatan dosa yang telah dilakukan akan mengundang dosa berikutnya?

Perbuatan terlarang yang telah terlanjur dilakukan tidaklah menjadikan anak yang terlahir pun haram. Sebagaimana bayi-bayi lain yang dilahirkan dari sebuah mahligai cinta pernikahan, mereka juga fitrah dan amanah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Bunda...
Sanggupkah nanti di yaumil mahsyar matamu menatap raut wajah mungil yang dipenuhi tanda tanya, mengapa bunda enggan memelihara dirinya semasa di dunia? Lalu apa yang akan engkau katakan saat Sang Pemilik bertanya tentang amanah dariNya?

Sayangi mereka bunda. Berikan peluk cium dan dekapan kasih sayang hingga cinta bersemi di hatinya. Balurilah dengan do'a agar mereka kelak memiliki akhlak yang lebih baik dari kita. Sehingga saat diri ini telah tiada, mereka akan selalu melantunkan do'a sebagai shadaqah jariyah untuk menghapus dosa besar yang pernah dilakukan, di setiap keheningan malam, sujud serta sulaman jari-jemarinya.

-Dikutip ulang dari buku Sapa Cinta dari Negeri Sakura-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Prev Next home